Doa sebelum dan sesudah mengajar: kesadaran atau formalitas belaka

Ilustrasi seorang gadis kecil berdoa, foto oleh Bing Image Creator

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلَامِ دِيْنَا َن

“Aku ridha dengan Allah SWT sebagai Tuhanku dan Islam sebagai agamaku dan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasulku. Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu dan berilah aku pemahaman yang baik.”

Kalimat di atas merupakan doa yang biasa dipanjatkan sebelum pengajaran dimulai. Doa sebelum memulai pembelajaran hendaknya menjadi momen yang sakral dan bermakna. Namun banyak pelajar yang melakukan hal tersebut hanya sebagai formalitas saja. Seringkali salat dilakukan secara tergesa-gesa tanpa memperhatikan kaidah bacaan, penghayatan makna, bahkan adab salat yang harus dipatuhi sering kali diabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa shalat hanya dianggap sebagai rutinitas wajib sebelum menuntut ilmu tanpa pemahaman yang mendalam akan hakikatnya. Selain itu mencerminkan adanya kekurangan dalam proses pembelajaran di Indonesia. Jika kondisi kerohanian siswa tidak dipersiapkan sejak awal, bagaimana mereka bisa benar-benar menerima materi ajar yang diberikan?
Kita harus memahami bahwa setiap siswa mempunyai keadaan hati yang berbeda-beda ketika datang ke sekolah. Mereka datang ke sekolah dengan membawa banyak permasalahan yang berhubungan dengan keluarga, teman, guru atau diri mereka sendiri, sehingga perlu menyelaraskan jiwa agar siap menerima materi pembelajaran. Di sini peran guru sebagai pendidik sangat penting yaitu bagaimana membawa keadaan hati peserta didik menjadi tenang dan nyaman melalui doa sehingga dapat membangun suasana belajar yang fokus. Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Ra’d ayat 28, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya tenteram bila mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hatimu akan selalu tenteram.”

Doa merupakan pintu pembuka sebelum melakukan sesuatu, artinya doa dapat menjadi indikator kesiapan siswa sebelum belajar. Doa dapat mengarahkan pikiran dan hati siswa pada ketenangan dan keseriusan dalam belajar. Doa sebelum belajar bukan sekedar bacaan yang diucapkan secara lisan, namun harus diserap dalam hati. Ada niat dan harapan yang penuh kepada Allah SWT dalam berdoa, sehingga proses mencari ilmu itu patut disembah. Selain itu, doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh makna dapat menjadi salah satu langkah awal siswa mencapai tazkiyatun nafs, yaitu penyucian jiwa. Jiwa yang tenang dan murni akan membantu siswa dalam memahami dan mengaplikasikan ilmunya.

Pada dasarnya tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa sangat berarti bagi kehidupan manusia. Menurut al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, tazkiyatun nafs berfungsi memperkuat motivasi seseorang dalam beramal shaleh. Selain itu Ibnul Qayyim al-Zaujiyah juga melakukan tazkiyatun nafs yang salah satunya adalah shalat, karena jika seseorang ingin mensucikan jiwanya, maka minimal harus bertaubat dengan memohon ampun kepada Allah SWT dan berdoa agar mendapat istiqomahan. Jika melihat sejarah, ulama seperti Imam Asy-Syafii dan Imam al-Ghazali juga menggunakan metode tazkiyatun nafs dalam mencari ilmu. Dengan demikian tazkiyatun nafs dan shalat sangat erat hubungannya.

Tazkiyatun nafs dapat dilakukan oleh guru dan siswa melalui berbagai kegiatan yang menyenangkan di dalam kelas, antara lain berdoa sebelum pembelajaran, membaca Al-Qur’an, membaca Asmaul Husna, berdoa, riyadhah dan mujahadah an-nafs. Dampak dari penerapan ini dapat menjadikan peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia dalam segala bidang kehidupan. Sebaliknya jiwa dan hati yang penuh kemaksiatan akan berdampak negatif terhadap pemahaman dan perilaku kita.
Keadaan yang tidak terduga ini bukan sepenuhnya kesalahan siswa, melainkan kekurangan sistem pembelajaran di kelas. Ketika guru melihat siswanya tidak sungguh-sungguh dalam shalat, maka guru hanya menegurnya tanpa menggali lebih dalam dampak buruk di baliknya, yaitu siswa tidak memahami maksud belajarnya. Selain itu, guru juga sering bermain-main dengan ponsel, berbicara, atau meninggalkan siswa di dalam kelas saat kegiatan sholat sedang berlangsung. Padahal, guru berperan penting dalam menjadikan kegiatan sholat khusyuk dan bermakna.

Kegiatan sederhana seperti mengajak siswa berdoa dengan benar dan penuh kesadaran, ternyata dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi jiwa dan hati siswa. bagaimana itu? Guru sebagai pengarah pembelajaran di kelas dapat membangun kegiatan shalat sebagai sesuatu yang bermakna dan khusyuk untuk mengantarkan siswa menuju gerbang tazkiyatun nafs. Pekerjaan yang kelihatannya sederhana, namun sebenarnya sangat mulia. Setiap guru hendaknya mempraktikkan hal ini dengan melakukan beberapa tahapan, antara lain sebelum, selama, dan sesudah mengajar.

Pertama, sebelum memulai kegiatan sholat, guru dapat membekali setiap siswa dengan kertas doa untuk dibaca, yang terdiri dari tulisan arab, terjemahan, dan artinya. Khusus bagi siswa yang belum mampu membaca huruf hijaiyyah, guru dapat menambahkan tulisan latin padanya. Guru dapat memberikan pemahaman kepada siswa tentang pentingnya membaca doa dengan khusyuk dan menjelaskan keutamaan shalat, salah satunya adalah Allah SWT pasti mendengar doa hamba-Nya sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Ghafir ayat 60, “Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan kamu (apa yang kamu harapkan). “Sesungguhnya orang-orang yang sombong karena tidak mau beribadah kepada-Ku, maka dia akan masuk (neraka) dalam keadaan hina.”

Kedua, ketika kegiatan berdoa dilakukan, guru dapat memberikan contoh kemudian mengarahkan siswa untuk mengikuti bacaan tersebut. Kemudian guru melakukan penilaian dengan cara mengoreksi bacaan siswa mulai dari tajwid, adab dan maknanya dengan memberikan reward dan punishment secara tegas. Hal ini dapat dilakukan pada saat orientasi siswa sebagai pengenalan terhadap lingkungan belajar. Jika melakukan istiqomah, maka otomatis siswa akan bisa membacanya sendiri tanpa dicontohkan oleh guru lagi.

Ketiga, setelah kegiatan sholat selesai, guru dan siswa aktif melakukan refleksi terhadap makna bacaan sholat. Dengan bantuan seperti ini guru secara langsung menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan pada diri siswa dan secara tidak langsung membangun tazkiyatun nafs pada diri siswa. Dengan demikian, siswa akan berada dalam kondisi sadar untuk mengikuti pembelajaran dengan sungguh-sungguh dan sungguh-sungguh. Hal inilah yang harus diupayakan oleh para guru, yaitu menjadikan shalat sebagai alat untuk mencapai tazkiyatun nafs, bukan sekedar formalitas.

Pengarang: Fadhilah Sukmawati Tanjung, mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam, Universitas Pendidikan Indonesia.

Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *