Meritokrasi Pendidikan: Isu Strategis Kabinet Baru dan Hasil Pilkada 2024

Pengarang: Deden E Ariffan (Mahasiswa Manajemen, program PhD UNJ)

JurnalPost.com – Artikel ini terinspirasi dari teori meritokrasi dalam menganalisis kebijakan publik dan dinamika kebijakan pendidikan di Indonesia. Meritokrasi bukanlah sebuah konsep baru karena sebagaimana dibahas secara menyeluruh oleh John Gray dkk. (dalam Karabel & Halsey, 1977) 40 tahun yang lalu. Meritokrasi merupakan sebuah konsep analisis kebijakan yang berkembang sejak akhir abad ke-20 di Eropa dan Amerika Serikat hingga munculnya gerakan yang disebut masyarakat teknologi pada pertengahan abad ke-20 di Eropa. Gerakan ini memberikan penolakan terhadap gejala politisasi, dibandingkan dengan keahlian dan profesionalisme sebagai faktor penentu dalam proses pengambilan kebijakan, pengembangan dan pengelolaan pendidikan nasional. Meski masih banyak yang menolak teori merit, namun peran keahlian dan profesionalisme dalam meningkatkan status ketenagakerjaan dan produktivitas nasional belum terbantahkan.

Dalam pengelolaan pendidikan nasional dan daerah, masih terjadi tarik menarik antara politisasi dan birokratisasi di satu sisi dengan meritokrasi di sisi lain, yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Di negara berkembang, lembaga penyelenggara pendidikan dan penyelenggara satuan pendidikan lebih dipahami sebagai aktor politik-birokrasi, sehingga kebijakan pendidikan juga lebih banyak diwarnai oleh mekanisme politik birokrasi. Pengusung kebijakan pendidikan juga lebih banyak diperankan oleh para politisi dibandingkan oleh orang-orang yang ahli dan profesional di bidangnya. Di negara maju, lembaga pendidikan dianggap sebagai lembaga yang lebih profesional yang didukung oleh kebijakan yang lebih teknis dan profesional. Proses penentuan kebijakan dan program pendidikan lebih didasarkan pada informasi dan penelitian, sehingga kalangan profesional mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan politisi. Hal inilah yang dimaksud dengan sistem merit dalam pengelolaan dan pengembangan pendidikan.

Malaysia dikenal sebagai negara yang berhasil menjadikan pendidikan sebagai barometer kemajuan bangsanya. Di Indonesia, perdebatan mengenai anggaran pendidikan minimal 20% APBN dan APBD cukup “panjang”, misalnya dalam penafsiran Pasal 31 ayat. dan pendidikan formal atau tidak, sehingga pada akhirnya harus melibatkan Konstitusi. Beberapa kelompok masyarakat tidak setuju dengan ketentuan UUSPN yang menetapkan 20% anggaran pendidikan di luar gaji guru dan pendidikan formal. Menyusul keluhan sebagian masyarakat, Mahkamah Konstitusi memutuskan anggaran pendidikan sebesar 20% APBN harus mencakup alokasi gaji guru dan pendidikan formal. Pembahasan ini berujung pada kenyataan bahwa besaran anggaran pendidikan dengan porsi 20% APBN/D tidak sesuai dengan suasana spiritual pada masa “reformasi” yang berujung pada lahirnya Pasal 31 ayat. Amandemen UUD 1945 dan Pasal 34 par. 1 UUSPN nomor 20 tahun 2003.

Pembahasan seperti ini belum pernah terjadi di negara-negara maju, bahkan di Malaysia dan Taiwan, karena besaran anggaran pendidikan bagi mereka merupakan komitmen awal dalam perjuangan kemerdekaan dan sudah diatur sejak berdirinya negara-negara tersebut. Tak ayal, seperti yang terjadi di Indonesia, Malaysia menjadi salah satu negara dengan anggaran pendidikan tertinggi di dunia tak lama setelah lepas dari penjajahan Inggris pada tahun 1960an. Meskipun Indonesia masih mengalokasikan 3,9% APBN untuk pendidikan pada tahun 1990an (Boediono & McMahon, 1992), Malaysia telah mencapai prestasi yang mengesankan dalam mengalokasikan 21% APBN atau lebih dari 5% PDB untuk pendidikan sejak awal berdirinya. pembentukan. Pendidikan di Indonesia belum pernah seberuntung itu selama 7 (tujuh) periode kepemimpinan nasional.

Untuk mewujudkan meritokrasi dalam pengelolaan pendidikan, Indonesia harus mengikuti langkah Malaysia. Di negara-negara maju seperti Malaysia, pendidikan lebih dipahami sebagai sektor teknis dan profesional – seperti halnya kesehatan, industri, pertanian, pertambangan atau minyak dan gas – daripada sebagai sektor politik yang dapat dilakukan oleh siapa saja (siapa pun). Akan lebih mudah bagi pemerintah untuk mengembangkan sektor-sektor teknis ini jika pemegang kebijakan, pengelola dan penyelenggara benar-benar ahli dan profesional di bidangnya. Meritokrasi nasional di bidang pendidikan benar-benar terwujud jika pengangkatan pemegang kebijakan, penyelenggara, dan penyelenggara pendidikan dilakukan berdasarkan pertimbangan faktor keahlian (merit penunjukan) dan bukan faktor politik (politik penunjukan) atau faktor lain di luar sistem merit yang bersangkutan. telah mapan. di pemerintahan pusat dan daerah.

Meritokrasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan nasional di pusat, di daerah, dan di satuan pendidikan diperlukan agar terselenggaranya pelayanan pendidikan yang berkeadilan, bermutu, berdaya saing, dan sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang pembangunan. Perumusan kebijakan pendidikan akan mudah dipahami oleh para profesional dan pemangku kebijakan serta pengelola yang profesional karena mereka mempunyai wawasan dan kearifan lebih dalam bidang yang dikelolanya. Mereka akan segera mampu menerjemahkan kebijakan ke dalam strategi, rencana dan tindakan yang relevan. Hingga masa pemerintahan saat ini, masih banyak kebijakan pendidikan di Indonesia yang dinilai kurang berkualitas dan kurang berwawasan bahkan beresiko gagal memenuhi misi penyelenggaraan pemerintahan/negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Konstitusi hanya karena mengabaikan prinsip merit.

Kabinet baru dan hasil pilkada 2024
Kondisi pendidikan di tingkat nasional masih dipenuhi berbagai permasalahan serius bahkan setelah 26 tahun reformasi Indonesia pada tahun 1998. Berdasarkan hasil PISA tahun 2022, peringkat Indonesia dalam bidang matematika, sains, dan literasi membaca masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Indonesia mendapat nilai rata-rata sekitar 379 untuk matematika, 391 untuk membaca, dan 393 untuk sains, yang lebih rendah dari rata-rata OECD yaitu 472, 476, dan 485. Sebaliknya, negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan mendapat nilai tinggi, dengan Singapura peringkat pertama di semua kategori dengan skor 575 di matematika, 543 di membaca, dan 561 di sains.

Ada beberapa penyebab Indonesia tertinggal, antara lain: 1). Hal ini mengakibatkan tidak meratanya akses terhadap fasilitas, guru berkualitas, dan kurikulum berkualitas2). tingkat 3). Ketimpangan ekonomi dan sosial: Anak-anak dari latar belakang ekonomi kurang mampu cenderung mengalami kesulitan mendapatkan pendidikan berkualitas, sehingga mempengaruhi kinerja akademik secara keseluruhan, dan 4). memenuhi kebutuhan pendidikan berbasis kompetensi yang ditargetkan oleh PISA.

Empat penyebab tertinggalnya Indonesia di atas sebenarnya bermula dari pengelolaan pendidikan di Indonesia yang belum menerapkan sistem merit. Pengelola pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah, bahkan di tingkat satuan pendidikan, semuanya bersaing untuk menjadi “tim sukses” dan kemudian sebagai imbalannya mendapatkan jabatan tertentu sesuai dengan tingkatannya. Meritokrasi di bidang pendidikan merupakan kebutuhan mendesak dari pusat hingga daerah dan satuan pendidikan untuk memikul tanggung jawab para profesional di bidang pendidikan, seperti di negara-negara yang mencapai standar tertinggi PISA.

Kabinet Merah Putih dan Pilkada Serentak yang akan berlangsung pada tahun 2024 menjadi harapan munculnya kesadaran kolektif bahwa pengelolaan pendidikan tidak bisa lagi bersifat politis dan diserahkan kepada “tim sukses”, melainkan akan diserahkan kepada “tim sukses”. beralih ke profesional. yang sangat memahami bagaimana pendidikan Indonesia dikelola dan dikembangkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pendidikan yang bermutu, adil, berkeadilan dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia.

Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *